JAKARTA, Juangsumatera.com – Menjelang hari raya, dunia usaha kerap dihadapkan pada fenomena lama yang terus berulang, yakni permintaan tunjangan hari raya (THR) oleh oknum organisasi masyarakat (ormas). Bahkan ulah ormas semakin mengkhawatirkan, tidak memberi THR pabrik disegel.
Meski bukan hal baru, praktik ini semakin menjadi perhatian karena berkembangnya modus pemaksaan yang meresahkan para pengusaha. Menurut Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jakarta, Nurjaman, permintaan THR oleh ormas sudah terjadi sejak lama. Bahkan, katanya, sudah terjadi sejak zaman Orde Baru.
“Sudah lama, dari zaman Orde Baru ini juga sudah mulai ada. Dulu itu mungkin sifatnya sukarela, tidak ada maksa. Kalau iya, ya kasih, kalau enggak juga nggak apa-apa,” kata Nurjaman kepada CNBC Indonesia, Jumat (21/3/2025).
Nurjaman menyebut fenomena pemaksaan THR ini tidak hanya berdampak pada beban finansial pengusaha, tetapi juga menciptakan ketidaknyamanan dalam iklim investasi.
“Kalau ada pemaksaan begitu, akhirnya kan akan mendorong kepada bahwa negara kita atau wilayah kita ini tidak ramah akan investasi,” tutur dia.
Menurutnya, bukan soal besar kecilnya jumlah yang diminta, tetapi efek psikologis yang ditimbulkan. “Makin dipaksakan ya kami-kami makin ogah untuk memberikan karena merasa terpaksa,” sambungnya.
Selain itu, pengusaha menilai bahwa ormas tidak memiliki kontribusi nyata terhadap perusahaan. “Kami juga mendahulukan THR kepada karyawan-karyawan kami yang ada kontribusi besar. Ormas-ormas kan nggak ada kontribusinya. Apa sih kontribusinya? Nyaris nggak ada,” tegasnya.
Meskipun permintaan THR secara sukarela masih bisa ditoleransi pihak pengusaha, Nurjaman menegaskan, jika permintaan sumbangan itu sudah bersifat memaksa, maka itu jelas merupakan pelanggaran hukum.
“Ya sudah pastinya itu ilegal,” kata Nurjaman. Namun, dalam praktiknya, banyak pengusaha yang tetap memberikan THR kepada oknum ormas, lantaran takut akan konsekuensi yang bisa mengganggu bisnis mereka.
“Ya resikonya dikata-katain. Bergantung ke wilayahnya, ada juga yang punya resiko, misalnya hal-hal yang enggak terduga,” ungkapnya.
Bahkan, ada kemungkinan perusahaan yang menolak memberikan THR bakal menghadapi tekanan yang lebih serius. “Kalau nggak dikasih, rasa ketakutan ada lah,” tambahnya.
Menghadapi tekanan semacam ini, Nurjaman justru menyarankan agar pengusaha bersikap tegas. “Kalau sudah cara begitu, malah saya merekomendasikan kepada teman-teman untuk tidak diberikan saja,” kata Nurjaman.
Menurutnya, memberi karena terpaksa justru akan memperkuat praktik buruk ini. “Kita ini enggak bisa dipaksa. Masa dipaksa buat kasih sumbangan? Kalau ada yang begitu lagi, saya menyarankan untuk jangan diberi. Yang mending kita laporkan aja,” tegasnya.
Meski begitu, Nurjaman mengakui bahwa sejauh ini para pengusaha belum sampai pada tahap melaporkan praktik pemaksaan ini ke aparat.
“Ya kita tidak sejauh itulah. Selama masih bisa mereka bersadar diri, ya enggak perlu lah. Sama-sama cari hidup lah,” ujarnya.
Pada akhirnya, Nurjaman menilai peran pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan bebas dari intimidasi.
“Nah di sini negara perlu hadir untuk memberikan rasa nyaman, rasa aman kepada investasi, kepada investor. Sehingga kita akan tercipta negara kita, khususnya wilayah-wilayah di sekitar itu, menjadi ramah investasi,” kata dia.
Selain penegakan hukum, ia menilai perlu ada pembinaan terhadap ormas agar bisa mencari sumber pendanaan dengan cara yang benar.
“Ormas sebenarnya sah-sah saja, tetapi bagaimana mencari sumber pendanaannya dengan cara yang benar, jangan dengan cara yang begitu,” pungkasnya. (wur/red)