JAKARTA, Juangsumatera.com – Tahun 2025 menjadi titik penting bagi penegakan hukum di sektor energi. Sebab, Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menunjukkan taringnya dengan membongkar kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina beserta subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk periode 2018-2023.
Yang menghebohkan dalam perkara ini, Kejagung menetapkan Muhammad Riza Chalid sebagai tersangka. Pengusaha minyak yang dijuluki The Gasoline Godfather tersebut resmi dimasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 19 Agustus 2025 lantaran tak memenuhi panggilan penyidik lebih dari tiga kali.
Kejagung Anang Supriatna menyampaikan status DPO Muhammad Riza Chalid ditetapkan setelah upaya pemanggilan berulang tidak diindahkan. “Sudah (DPO) per 19 Agustus 2025,” ujar Anang dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (25/12/2025).
Kasus hukum yang menjerat MRC sendiri dimulai pada 10 Juli 2025, ketika Kejagung menetapkannya sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi di Tata Kelola Minyak 2018-2023. Namun sejak penetapan itu, MRC tak pernah memenuhi panggilan dari Kejagung.
Kejagung sendiri pernah mengungkapkan keberadaan MRC yang berada di Singapura. Namun pemerintah Singapura memastikan bahwa MRC tidak berada di wilayah mereka.
“Catatan imigrasi kami menunjukkan bahwa Muhammad Riza Chalid tidak berada di Singapura dan sudah lama tidak memasuki wilayah Singapura,” tulis Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Singapura melalui situs resminya pada 16 Juli 2025.
“Jika diminta secara resmi, Singapura akan memberikan bantuan yang diperlukan kepada Indonesia, sesuai dengan hukum dan kewajiban internasional kami,” tambahnya.
Anang mengatakan sebagai tindak lanjut, penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus bakal menyisir negara lain untuk mencari keberadaan dari tersangka.
Ia menyebut pihaknya cukup terbuka dan menerima setiap informasi yang ada terkait dengan keberadaan MRC. Selain itu, penyidik juga akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri.
“Yang jelas seandainya ada informasi keberadaan yang bisa menunjukkan kita tampung dan kami akan bekerja sama dengan Kemenlu,” katanya.
Pada 10 Juli 2025 lalu, MRC telah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus korupsi dugaan tindak pidana korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023.
MRC merupakan pemilik PT Orbit Terminal Merak (OTM). Ia diduga melakukan tindakan melawan hukum, yakni menghilangkan skema kepemilikan aset dalam kontrak kerja sama dengan PT Pertamina (Persero).
Penetapan tersangka tersebut mengacu pada Surat Penetapan Tersangka Nomor TAP-49/F.2/Fd.2/07/2025 Tanggal 10 Juli 2025, dan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRIN-53/F.2/Fd.2/07/2025 Tanggal 10 Juli 2025.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung saat itu, Harli Siregar menjelaskan duduk perkara kasus tersebut. Hal ini berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Kejagung yang menemukan fakta hukum terkait pembayaran yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga (PPN) terhadap produk BBM RON 92 yang diimpor. Hal itu berdasarkan price list yang didapatkan.
Menurut dia, berdasarkan kontrak, BBM yang diterima seharusnya memiliki kadar RON 92, namun faktanya minyak yang diterima dalam transaksi tersebut memiliki kadar RON lebih rendah, yaitu RON 88 atau RON 90.
“Fakta hukum bahwa PPN melakukan pembayaran terhadap RON 92 Berdasarkan price list. Sementara Barang yang masuk atau minyak yang masuk itu adalah RON 88 atau RON 90,” kata Harli di kantor Kejagung, Jumat (28/2/2025).
Selain itu, Kejagung juga menyoroti terkait peran PT Orbit Terminal Merak (PT OTM) di Cilegon, milik Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) sebagai depo atau storage yang menampung minyak impor tersebut.
Menurut dia, PT OTM seharusnya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan proses blending karena hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan.
“Bisa kami sampaikan bahwa PT OTM adalah pihak yang tidak berkapasitas untuk melakukan proses blending karena itu adalah hanya tempat penyimpanan bahwa apakah nanti ada Seperti blending dari RON ke RON nah itu akan terus didalami,” ujarnya.
Kejagung menilai bahwa fungsi pengolahan seharusnya berada di kilang, bukan di depo atau storage. Sehingga proses blending minyak mentah untuk menjadi sebuah produk BBM, seharusnya berada di ranah PT Kilang Pertamina Internasional (KPI). (pgr/pgr/red)


