JAKARTA, Juangsumatera.com — Hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Effendi, terlihat menangis saat memimpin sidang yang mengadili hakim nonaktif Djuyamto dan kawan-kawan dalam kasus dugaan suap berkaitan dengan pengurusan perkara korporasi ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Djuyamto dkk akan menghadapi sidang tuntutan pidana pada Rabu, 29 Oktober 2025. Dalam lanjutan sidang yang berlangsung Rabu (22/10) sore di Pengadilan Tipikor Jakarta, mulanya Effendi selaku ketua majelis hakim bercerita soal perasaannya mengadili kolega sesama hakim.
Effendi mengaku mengadili kasus yang menyeret hakim nonaktif Djuyamto, Muhammad Arif Nuryanta, Agam Syarief Baharudin, Ali Muhtarom, dan Wahyu Gunawan itu menjadi persidangan yang berat untuk dirinya.
Bukan hanya terpaksa mengadili kolega sesama hakim, Effendi pun mengaku punya hubungan pertemanan dengan beberapa terdakwa di depan meja hijau tersebut.
“Selama saya jadi hakim, inilah persidangan yang berat buat saya,” kata hakim Effendi di ruang sidang Hatta Ali Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (22/10/2025) sore, dikutip dari CNN Indonesia.
Dalam perkara ini tiga hakim pengadil vonis bebas perkara CPO yang didakwa menerima suap adalah Agam, Ali, dan Djuyamto. Mereka didakwa bersekongkol dengan Muhammad Arif Nuryanta selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam kasus yang sama juga diseret ke meja hijau terdakwa lain yakni Marcella Santoso dan Ariyanto selaku pengacara; serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
Dalam sidang, Effendi mengatakan mengenal baik terdakwa Muhammad Arif Nuryanta selaku mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Katanya, dia dan Arif pernah sama-sama dinas di Provinsi Riau. Ketika itu Effendi sebagai Ketua PN Dumai, sedangkan Arif sebagai Ketua PN Pekanbaru.
Selain itu, Effendi mengaku sama-sama merintis karier hakim bersama terdakwa dan pernah mengikuti pendidikan kilat (diklat) berbarengan pula.
“Kita sama-sama merintis karier sebagai hakim. Tahun 1996 SK kita sebagai cakim, 1999 kita masuk diklat di Cinere, Gandul, sekarang menjadi pusdik. Kita masih di bawah Departemen Kehakiman pada waktu itu. Kita sama-sama dua minggu di marinir, pendidikan dasar kemiliteran, jalan kaki dari Sawangan ke Cilandak, berenang. Kalau pandai berenang tetap harus dibenamkan oleh marinir di Ancol,” tutur hakim Effendi.
“Dan hari ini, bukan hari ini ya, di persidangan ini kita ketemu. Jujur, suasana yang sebetulnya tidak saya inginkan, dan jujur secara manusia biasa, saya emosional terhadap persidangan ini,” sambungnya seraya menangis.
Sementara terhadap terdakwa lain seperti hakim nonaktif Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, Ali Muhtarom, dan Wahyu Gunawan, Effendi hanya tidak percaya harus bertemu pada saat rekan seprofesinya menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi.
“Jadi, jujur, inilah beban perkara yang paling berat yang pernah saya alami, saya menyidangkan teman-teman saya,” kata dia.
“Kenapa ini kok bisa terjadi?” lanjutnya menyatakan ketidakpercayaan atas siapa yang ada di depan meja hijau.
Djuyamto dkk yang duduk di kursi terdakwa lantas memberi alasan menerima uang dari pengacara korporasi yang kasusnya sedang diadili.
Dalam keterangannya, seluruh terdakwa pada pokoknya mengakui kesalahan tersebut, dan akan bertanggung jawab.
“Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa, saya lah yang menghancurkan… ,” tutur Djuyamto lalu mengambil jeda meneruskan kalimat karena menahan tangis.
“Mohon izin yang Mulia, saya lah yang menghancurkan karier saya sendiri, saya tidak menyalahkan siapa-siapa, saya bertanggungjawab atas semua kesalahan yang saya lakukan, dan saya siap menjalani hukuman,” sambungnya.
Djuyamto dan empat terdakwa lain akan menghadapi sidang tuntutan pidana pada Rabu pekan depan. “Sidang kita tunda, Insyaallah akan kita buka kembali satu minggu ke depan, hari Rabu tanggal 29 Oktober, satu hari setelah hari sumpah pemuda ya,” ujar Effendi sebelum menutup agenda persidangan kemarin. (ryn/kid/red)


