JAKARTA, Juangsumatera.com – Uni Eropa (UE) telah memutuskan untuk memperpanjang misi angkatan lautnya di Laut Merah selama satu tahun lagi. Misi ini bertujuan untuk melindungi pengiriman komersial dan memastikan kebebasan navigasi di wilayah tersebut dari serangan penguasa Yaman, Houthi.
Dalam sebuah pernyataan, Dewan UE mengonfirmasi perpanjangan mandat untuk operasi keamanan maritimnya, EUNAVFOR ASPIDES, hingga 28 Februari 2026. Keputusan tersebut mengikuti tinjauan strategis operasi tersebut dan mencakup anggaran referensi lebih dari 17 juta euro (Rp290 miliar).
“Operasi UE, yang sudah diluncurkan pada bulan Februari 2024, dirancang sebagai tindakan defensif untuk melindungi kapal-kapal komersial di Laut Merah, khususnya terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh Houthi,” lapor newscentral, dikutip Rabu (19/2/2025) dan dilansir dari CNBC Indonesia.
“Misi tersebut kini telah diperkuat lebih lanjut untuk mencakup pengumpulan intelijen dan data terkait perdagangan senjata dan armada bayangan,” tambahnya.
Sejak tahun lalu, kelompok Houthi telah menembakkan rudal, mengirim pesawat nirawak bersenjata, dan meluncurkan kapal-kapal yang sarat dengan bahan peledak ke kapal-kapal komersial yang memiliki hubungan dengan entitas-entitas Israel, AS, dan Inggris. Ini sebagai bagian dari protes kelompok itu ke serangan Israel ke Gaza.
Perlu diketahui krisis Laut Merah telah muncul sebagai titik kritis konflik di Timur Tengah. Hal ini menjungkirbalikkan perdagangan global dan transportasi maritim, aktivitas pelabuhan di kawasan Arab.
Dalam laporan terbaru Bank Dunia (World Bank) “Krisis Pengiriman Laut Merah yang Semakin Dalam: Dampak dan Prospek”, membaranya kawasan itu telah membawa pengalihan perdagangan serta mengubah aktivitas perdagangan pelabuhan di sepanjang koridor Asia-Eropa, serta mengubah nasib pusat-pusat utama.
Dikatakan bahwa pusat-pusat Mediterania Barat berkembang pesat dengan perdagangan yang dialihkan sementara pusat-pusat Mediterania Timur menghadapi penurunan tajam.
“Gangguan itu telah mengirimkan gelombang kejut melalui rantai pasokan global, yang mengakibatkan waktu pengiriman pemasok yang lebih lama, terutama di Eropa,” kata Bank Dunia.
Namun, laporan itu mengatakan tarif angkutan yang lebih tinggi sejauh ini memiliki dampak yang tidak terlalu terasa pada inflasi. Sebagian karena permintaan global yang lemah, harga komoditas global yang lebih rendah dan persediaan yang memadai.
Laporan tersebut mengatakan bahwa Indeks Kontainer Dunia Drewry, tolok ukur penting biaya pengiriman global, tetap 141% lebih tinggi daripada tingkat sebelum krisis pada November 2024. Dikatakan bahwa dampaknya lebih terasa di sepanjang rute yang melewati Laut Merah, di mana tarif pengiriman dari Shanghai ke Rotterdam dan Genoa, rata-rata, 230% lebih tinggi daripada pada akhir tahun 2023. (sef/sef/red)