JAKARTA, Juangsumatera.com — Amerika Serikat (AS) dan Iran melanjutkan pembicaraan mengenai program nuklir Iran di Roma, Italia, pada Sabtu (19/4/2025).
Pertemuan ronde kedua ini terjadi usai putaran awal diskusi yang digambarkan kedua belah pihak sebagai pembicaraan ‘konstruktif’. Televisi pemerintah Iran melaporkan pembicaraan yang dimediasi Oman ini dimulai sekitar pukul 09.30 GMT.
AFP memberitakan menurut gambar yang disiarkan pada Sabtu dini hari oleh televisi pemerintah menunjukkan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi tiba di Roma. Utusan AS untuk Timur Tengah Steve Witkoff disebut juga akan berpartisipasi dalam pembicaraan tersebut dilansir dari CNN Indonesia.
Pertemuan tersebut terjadi seminggu setelah kedua belah pihak melakukan apa yang disebut Iran sebagai pembicaraan tidak langsung di Muscat. Itu adalah diskusi pertama pada tingkat tinggi antara kedua negara bermusuhan ini sejak Presiden AS Donald Trump membatalkan perjanjian nuklir penting pada 2018.
Negara-negara Barat termasuk AS telah lama menuduh Iran berusaha mengembangkan senjata nuklir, yang secara konsisten dibantah oleh Iran dengan bersikeras mengatakan program nuklirnya untuk tujuan sipil yang damai.
Teheran dan Washington tidak memiliki hubungan diplomatik sejak tak lama setelah revolusi Islam Iran pada 1979.
Setelah kembali menjabat pada Januari, Trump menghidupkan kembali kampanye ‘tekanan maksimum’ yang berupa sanksi terhadap Iran.
Pada Maret, ia mengirim surat kepada pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei yang mendesak perundingan nuklir baru sambil memperingatkan tindakan militer jika diplomasi gagal.
“Saya tidak terburu-buru” untuk menggunakan opsi militer. Saya pikir Iran ingin berunding,” kata Trump pada Kamis.
Pada Jumat, Araghchi mengatakan Iran ‘melihat tingkat keseriusan’ di pihak AS selama putaran pertama tetapi mempertanyakan niat mereka.
“Meskipun kami memiliki keraguan serius tentang niat dan motivasi pihak Amerika, bagaimanapun juga kami akan berpartisipasi dalam negosiasi besok (Sabtu),” katanya pada konferensi pers di Moskow.
Dalam sebuah posting media sosial pada Sabtu pagi, juru bicara kementerian luar negeri Iran Esmaeil Baqaei mengatakan bahwa Iran ‘menyadari bahwa ini bukan jalan yang mulus tetapi kami mengambil setiap langkah dengan mata terbuka, juga mengandalkan pengalaman masa lalu’.
Selama masa jabatan pertama Trump, AS menarik diri dari perjanjian 2015 antara Iran dan negara-negara besar dunia yang menawarkan keringanan sanksi internasional kepada Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya.
Teheran mematuhi perjanjian tersebut selama setahun setelah penarikan Trump sebelum mengurangi kepatuhannya.
Araghchi adalah seorang negosiator perjanjian tahun 2015 itu. Rekannya dari AS di Roma, Witkoff, adalah seorang raja real estat. Trump juga ditugaskan untuk melakukan pembicaraan tentang Ukraina.
Iran saat ini memperkaya uranium hingga 60 persen, jauh di atas batas 3,67 persen dalam perjanjian tersebut tetapi masih di bawah ambang batas 90 persen yang diperlukan untuk bahan kelas senjata.
Pada Jumat, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mendesak negara-negara Eropa memutuskan apakah akan memicu mekanisme ‘snapback’ berdasarkan perjanjian 2015, yang secara otomatis akan memberlakukan kembali sanksi PBB terhadap Iran atas ketidakpatuhannya.
Iran sebelumnya telah memperingatkan bahwa mereka dapat menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir jika mekanisme tersebut dipicu.
Grossi, yang mengadakan pembicaraan dengan pejabat Iran selama kunjungan ke Teheran minggu ini, mengatakan AS dan Iran ‘berada pada tahap yang sangat penting’ dalam pembicaraan tersebut dan ‘tidak punya banyak waktu’ untuk mengamankan kesepakatan.
Araghchi mengatakan kesepakatan dengan AS ‘mungkin’ terjadi jika Washington menahan diri dari ‘mengajukan tuntutan yang tidak masuk akal dan tidak realistis’,tanpa menjelaskan lebih lanjut. (fea/red)