JAKARTA, Juangsumatera.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang diajukan sejumlah mahasiswa. MK menolak mengubah pasal yang memungkinkan anggota DPR diberhentikan oleh pemilih dari dapilnya.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” demikian putusan MK untuk permohonan nomor 199/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan dalam persidangan di gedung MK, Kamis (27/11/2025) dikutip dari detiknews.
MK mengatakan gugatan ini berkaitan dengan sistem pemilu di Indonesia. MK menyatakan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik.
“Sehingga konsekuensi logis dari diterapkannya mekanisme recall terhadap anggota DPR dan anggota DPRD juga harus dilakukan oleh partai politik sebagai wujud pelaksanaan demokrasi perwakilan,” ujar MK.
MK mengatakan keinginan para pemohon agar pemilih di dapil atau konstituen dapat mengusulkan pemberhentian anggota DPR dan anggota DPRD tak sejalan dengan UUD 1945. Selain itu, MK menyebut permintaan pemohon itu sama dengan menggelar pemilu ulang.
Keinginan para Pemohon agar konstituen di daerah pemilihan diberi hak yang sama dengan partai politik sehingga dapat mengusulkan pemberhentian antar waktu anggota DPR dan anggota DPRD pada dasarnya tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan.
Di samping itu, secara teknis hal demikian sama saja dengan melakukan pemilihan umum ulang di daerah pemilihan yang bersangkutan dan hal tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak dapat dipastikan pemilih yang pernah memberikan hak pilihnya kepada anggota DPR dan anggota DPRD yang akan diberhentikan pada waktu dilaksanakan pemilihan umum, ujar MK.
MK juga menjawab kekhawatiran para pemohon soal pemberhentian anggota DPR oleh partai politik bisa berdampak pada dominasi partai dan tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Menurut MK, kekhawatiran tersebut tidak terjadi karena MK telah menegaskan dalam tiga putusan sebelumnya bahwa pergantian anggota DPR atau DPRD oleh partai tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang atau dengan cara melanggar hukum.
Dalam hal ini, apabila pemilih menilai terdapat anggota DPR atau DPRD yang tidak layak menjadi anggota DPR atau anggota DPRD, pemilih dapat mengajukan keberatan kepada partai politik bahkan dapat menyampaikan kepada partai politik untuk me-recall anggota DPR atau anggota DPRD dimaksud.
Bahkan sesuai dengan regularitas waktu penyelenggaraan pemilihan, pemilih seharusnya tidak memilih kembali anggota DPR atau anggota DPRD yang dianggap bermasalah pada pemilu berikutnya, ujar MK.
Sebelumnya, sejumlah mahasiswa mengajukan gugatan terhadap UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta MK untuk mengubah pasal 239 ayat 1 huruf c soal pemberhentian anggota DPR.
Dilihat dari situs MK, gugatan itu teregistrasi dengan nomor 199/PUU-XXIII/2025. Para pemohon ialah Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Muhammad Adnan.
Berikut isi pasal yang digugat pemohon,
Pasal 239 (1) Anggota DPR berhenti antar waktu karena, diberhentikan.
Mereka meminta MK mengubah isi pasal itu. Berikut petitumnya, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Menyatakan Pasal 239 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa ‘anggota DPR dapat diberhentikan oleh konstituen di daerah pemilihannya.
Terahir, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Pemohon beralasan pihaknya merasa dirugikan karena pasal itu seolah menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Padahal, menurut pemohon, pemilih seharusnya dapat memastikan anggota DPR yang dipilih menjadi penyambung suara rakyat di parlemen.
“Ketentuan dalam Pasal a quo telah nyata terjadi pengeksklusifan terhadap partai politik untuk memberhentikan anggota DPR, di mana selama ini praktik yang berjalan sering kali partai politik memberhentikan anggota DPR tanpa alasan yang jelas dengan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat,” ujarnya. (haf/dhn/red)


